Daftar isi
1. Ayat Al-Qur'an tentang Jual Beli yang
Halal dan Larangan Riba
2. Hadits tentang Larangan Gharar dan
Maisir dalam Transaksi
3. Pendapat Ulama Klasik tentang Syirkah
dan Saham
a. Ibnu Taimiyyah dan Larangan Gharar
b. Ibnu Qayyim tentang Maisir dan Gharar
4. Pendapat Ulama Modern dan Panduan
untuk Saham Halal
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) -
MUI
5. Contoh Perusahaan yang Halal dan
Non-Halal dalam Perspektif Islam
Pendahuluan
Perdagangan
saham perusahaan dalam perspektif Islam adalah topik yang cukup kompleks, dan
para ulama baik klasik maupun modern memiliki pandangan yang mendalam mengenai
hal ini. Secara umum, saham adalah kepemilikan seseorang dalam modal suatu
perusahaan yang dijalankan. Untuk memahami hukum jual beli saham dalam Islam, memerlukan
pemahaman mendalam karena saham melibatkan kepemilikan dalam perusahaan yang
terkadang berkaitan dengan aktivitas yang mungkin tidak sesuai syariat. Berikut
adalah eksplorasi lebih mendalam mengenai jual beli saham dalam Islam, lengkap
dengan kutipan dari para ulama, ayat Al-Qur'an, dan hadits yang relevan.
1. Ayat
Al-Qur'an tentang Jual Beli yang Halal dan Larangan Riba
Allah SWT telah
menetapkan dalam Al-Qur'an bahwa kegiatan jual beli yang halal harus bebas dari
unsur penipuan, ketidakpastian, dan eksploitasi.
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا
اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ٢٩
Terjemahan
Kemenag 2019
29. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali
berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa [4]: 29)
Ayat
ini menegaskan bahwa setiap transaksi dalam Islam harus berlandaskan
persetujuan bersama dan jauh dari praktik yang batil, seperti riba dan
penipuan. Dalam konteks saham, ini berarti bahwa transaksi harus terbebas dari
unsur ketidakpastian atau spekulasi yang merugikan.
2. Hadits
tentang Larangan Gharar dan Maisir dalam Transaksi
Nabi
Muhammad SAW juga memperingatkan tentang praktik ketidakpastian (gharar) dan
spekulasi (maisir) dalam transaksi:
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Terjemahnya:
"Rasulullah
SAW melarang jual beli yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar)." (HR.
Muslim, No. 1513)
Hadits
ini menguatkan bahwa dalam Islam, setiap transaksi yang berisiko tinggi dengan
unsur ketidakpastian berlebihan (seperti spekulasi pasar saham berlebihan)
tidak diperbolehkan. Untuk saham, ini berarti saham perusahaan yang
fluktuasinya sangat tidak jelas dan tidak terkontrol, serta sifat transaksinya
hanya bertujuan spekulatif, adalah terlarang.
3. Pendapat
Ulama Klasik tentang Syirkah dan Saham
a. Ibnu
Taimiyyah dan Larangan Gharar
Ibnu
Taimiyyah di Dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa, beliau mengatakan:
كُلُّ عَقْدٍ
فِيهِ غَرَرٌ يَجِبُ أَنْ يُتَجَنَّبَ فِي الْبَيْعِ
Terjemahnya
:
"Setiap
akad yang mengandung gharar (ketidakpastian) harus dihindari dalam jual
beli."[1]
Ibnu
Taimiyyah menekankan bahwa segala bentuk transaksi yang mengandung unsur
ketidak jelasan dan spekulasi tinggi, harus dihindari. Hal ini relevan dalam
perdagangan saham modern, di mana ketidakpastian berlebihan dan spekulasi dapat
menimbulkan kerugian besar.
b. Ibnu Qayyim
tentang Maisir dan Gharar
Ibnu
Qayyim menulis dalam kitabnya:
وَكُلُّ
بَيْعٍ يُشْتَرَطُ فِيهِ مَيْسِرٌ أَوْ غَرَرٌ فَهُوَ حَرَامٌ
Terjemhnya;
"Setiap
jual beli yang mengandung spekulasi (maisir) atau ketidakpastian (gharar) adalah
haram."[2](I'lam
al-Muwaqqi'in_, Juz 2, hal. 27, Penerbit: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut,
1991)
Ibnu
Qayyim menegaskan bahwa transaksi yang mengandung unsur perjudian atau
spekulasi tinggi tidak diperbolehkan, yang sangat relevan dalam konteks saham,
terutama jika tujuan membeli saham hanya untuk spekulasi tanpa mempertimbangkan
nilai dasar dari perusahaan tersebut.
4. Pendapat
Ulama Modern dan Panduan untuk Saham Halal
a. Fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN) - MUI
Fatwa
DSN No. 40/DSN-MUI/X/2003 menetapkan beberapa ketentuan yang harus diikuti agar
saham perusahaan dianggap halal:
1.
Bisnis yang Halal: Perusahaan tidak boleh bergerak dalam bisnis yang dilarang,
seperti perjudian, minuman keras, atau riba.
2. Kepemilikan
Nyata dan Bebas Spekulasi: Saham harus mencerminkan kepemilikan nyata dan tidak
hanya sekedar spekulasi atau perjudian.
3. Transaksi
Saham Bukan Berbasis Riba: Tidak melibatkan transaksi pinjaman berbasis bunga
atau transaksi yang mengandung unsur riba.
b. Yusuf
Al-Qaradawi
Yusuf
Al-Qaradawi menyatakan bahwa jual beli saham diperbolehkan selama perusahaan
beroperasi dalam bidang yang diperbolehkan oleh syariat Islam dan tidak
bergantung pada bunga atau riba.
يَجُوزُ
شِرَاءُ وَبَيْعُ أَسْهُمِ الشَّرِكَاتِ التِجَارِيَّةِ، مَا دَامَتْ تَتَعَامَلُ فِي
أَعْمَالٍ مُبَاحَةٍ، وَلَا تَعْتَمِدُ عَلَى الرِّبَا فِي تَمْوِيلِهَا
Terjemahnya:
"Diperbolehkan
membeli dan menjual saham perusahaan perdagangan selama mereka beroperasi dalam
bidang yang diperbolehkan dan tidak bergantung pada riba dalam
pembiayaannya."[3]
c. Muhammad
Taqi Usmani
Sheikh
Taqi Usmani, seorang pakar keuangan Islam, juga menyetujui jual beli saham
selama perusahaan tersebut tidak beroperasi dalam bidang yang bertentangan
dengan syariat dan tidak mendapatkan keuntungan dari bunga.
يَجِبُ
أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ لَا تَعْمَلُ فِي الْمُحَرَّمَاتِ وَلَا تَحْصُلُ عَلَى رِبَحٍ
مِنَ الرِّبَا
Terjemah:
Perusahaan
harus tidak bergerak dalam bisnis haram dan tidak mendapatkan keuntungan dari
riba." Taqi Usmani, An Introduction to Islamic Finance, (Karachi: Islamic
Publications, 2002), hal. 152.
d. Sheikh
Wahbah Az-Zuhaili
Sheikh
Wahbah Az-Zuhaili, seorang ulama terkenal dalam bidang fikih, menyatakan dalam
bukunya:
الأَسْهُمُ
تَجُوزُ مَا دَامَتْ الشَّرِكَةُ فِي مَجَالٍ حَلَالٍ وَتَتَجَنَّبُ الرِّبَا
Terjemahnya:
"Saham
boleh diperjual belikan selama perusahaan berada di bidang yang halal dan
menghindari riba."[4]
e. Sheikh
Ali al-Salus
Sheikh
Ali al-Salus, ahli ekonomi syariah, menjelaskan bahwa perdagangan saham pada
dasarnya diperbolehkan asalkan memenuhi ketentuan syariah. Beliau menegaskan
pentingnya menghindari saham perusahaan yang terlibat dalam praktik riba dan
aktivitas yang dilarang lainnya:
لَا بَأْسَ
فِي بَيْعِ وَشِرَاءِ الأَسْهُمِ شَرْطَ أَنْ تَكُونَ الشَّرِكَةُ لَا تَعْمَلُ فِي
مَا يُحَرِّمُهُ الشَّرْعُ وَتَتَجَنَّبُ الرِّبَا
Terjemahnya:
“Tidak
ada masalah dalam membeli dan menjual saham, dengan syarat bahwa perusahaan
tidak bergerak dalam aktivitas yang diharamkan oleh syariat dan menghindari
riba."[5]
5. Contoh
Perusahaan yang Halal dan Non-Halal dalam Perspektif Islam
a. Perusahaan
Halal
Beberapa
contoh perusahaan yang sahamnya dapat dianggap halal karena bergerak di sektor
yang sesuai dengan syariah:
Perusahaan
Manufaktur Halal: Seperti perusahaan yang memproduksi pakaian, bahan makanan
halal, atau farmasi.
Perusahaan
Teknologi dan Telekomunikasi: Misalnya, perusahaan yang berfokus pada teknologi
komunikasi atau layanan internet yang tidak bertentangan dengan syariat.
Perusahaan
Konstruksi: Perusahaan yang bergerak dalam bidang pembangunan gedung, jalan,
atau infrastruktur lain yang tidak terkait dengan aktivitas haram.
b.
Perusahaan Non-Halal
Contoh
perusahaan yang tidak diperbolehkan untuk diperdagangkan sahamnya karena
bergerak dalam bidang yang dilarang oleh syariat:
Perusahaan
Minuman Keras: Seperti pabrik bir atau produsen minuman beralkohol.
Perusahaan
Perjudian: Termasuk perusahaan yang menyediakan platform untuk perjudian atau
kasino.
Perusahaan
Riba (Perbankan Konvensional): Bank yang berbasis riba atau lembaga keuangan
yang memberikan pinjaman berbunga.
Kesimpulan
Secara
umum, para ulama sepakat bahwa perdagangan saham dalam Islam diperbolehkan jika
perusahaan memenuhi syarat-syarat syariah. Perusahaan yang bergerak dalam
bidang halal, tidak mengandalkan riba, dan tidak terlibat dalam kegiatan yang
diharamkan, dapat dianggap layak untuk dijadikan investasi. Namun, transaksi
yang hanya bertujuan untuk spekulasi atau dengan mengharapkan keuntungan semata
dari fluktuasi harga secara berlebihan tetap dilarang dalam Islam karena
mengandung unsur maisir (perjudian) dan gharar (ketidakpastian). Melalui
contoh-contoh dan pendapat para ulama di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Islam mendorong setiap Muslim untuk berhati-hati dalam berinvestasi, memilih
perusahaan yang sesuai dengan prinsip syariah, dan menghindari praktik yang
dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan ekonomi di tengah masyarakat.
Referensi
1.
Majmu' al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah. Penerbit: Dar al-Wafa, Cairo, Tahun Terbit:
2004.
2.
I'lam al-Muwaqqi'in, Ibnu Qayyim. Penerbit: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut,
Tahun Terbit: 1991.
3.
Fiqh al-Zakat, Yusuf Al-Qaradawi. Penerbit: Dar al-Qalam, Kuwait, Tahun Terbit:
1986.
4. An
Introduction to Islamic Finance*, Taqi Usmani. Penerbit: Islamic Publications,
Karachi, Tahun Terbit: 2002.
5. Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili. Penerbit: Dar al-Fikr, Damaskus,
Tahun Terbit: 1985.
6. Al-Mu'amalat
al-Maliyah al-Mu'ashirah, Ali al-Salus. Penerbit: Dar al-Salam, Cairo, Tahun
Terbit: 2003.
[1] Ibnu Taimiyyah, Majmu' al-Fatawa, Juz 29, (Cairo: Dar al-Wafa, 2004) hal.
22.
[2] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Juz 2, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991) hal. 27.
[3] Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh al-Zakat, Juz 1, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1986
), hal. 457.
[4] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 5, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1985), hal. 420.
[5] Ali al-Salus, Al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirah, (Cairo: Dar
al-Salam, 2003), hal. 153.
Posting Komentar